Srnras

Hari ini sesuai janjinya dengan sang adik tingkat, Danu bersiap untuk bertemu dengannya, Danu memilih untuk mengiyakan ajakan Alana karena menyangkut soal Adira. Kini Danu berada dalam perjalanan menuju rumah Alana yang ternyata letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Tak perlu waktu lama kini Danu sudah berhenti tepat di depan rumah Alana, lalu Danu mengeluarkan ponselnya untuk mengirimkan pesan pada Alana yang berisikan bahwa dirinya sudah sampai di depan rumah Alana, tak lama pesan itu terkirim muncul seorang gadis dengan pakaian yang rapi sedang berjalan ke arah mobilnya.

“Hallo kak, makasih ya udah mau jemput, jadi ngerepotin nih,” ucap Alana yang kini sudah terduduk di kursi depan mobil Danu.

“Santai, ini lo mau ke gramedia dulu kan?”

“Iya kak, nggak apa-apa kan? Tapi kalau mau ngobrol dulu juga boleh kok, aku santai.”

“Ya udah kalau gitu gue pilih ngobrol dulu aja.”

Selama perjalanan suasana dimobil cukup awkward, pasalnya Danu tidak mengenal adik tingkatnya ini, hanya pernah berikirim pesan beberapa kali saja dan itu pun bukan urusan yang penting, namun sebenarnya sesekali Alana mengajaknya berbicara atau pun bertanya kepada Danu tapi hanya ditanggapi seperlunya saja.


“Lo mau pesan apa? Biar gue aja yang antri, lo cari aja tempat duduk, kalau bisa jangan yang terlalu ramai ya,” ucap Danu setibanya mereka di salah satu coffee shop yang ada di mall.

“Oh okay kak, aku mau signature chocolate aja satu.”

“Oke.”

Danu langsung mengantri untuk memesan minuman dan Alana langsung pergi untuk mencari tempat duduk.

“Nih signature chocolate. Jadi apa yang mau lo kasih tau tentang Adira?”

“Eh? Langsung aja nih kak? Bahkan aku belum coba minuman ku loh kak.”

“Ya lo minum aja, abis itu jawab.”

“Ehem... Jadi gini kak, aku tau kalau kakak lagi deket sama kak Adira, terus aku juga sering liat postingan kakak atau kak Adira ditwitter gitu, aku cukup kaget sih kak ternyata kak Adira deket nggak cuma sama kakak doang ya?”

“Maksud lo?”

“Iya itu kalau yang aku lihat ditwitter kayanya kak Adira deket sama cowok lain juga deh, atau mungkin sebenernya mereka pacaran. Aku sebenernya punya sepupu yang dulu satu sekolah sama kak Adira, katanya dari dulu dia emang suka gonta-ganti cowok gitu sih kak, bahkan sepupu aku ini tuh kan temen deketnya kak Adira, tapi cowok sepupu ku juga diembat sama kak Adira, jadi aku cuma mau kasih tau kakak aja, biar kakak hati-hati dan nggak jadi korban kak Adira gitu,” ucap Alana

“Okay gue nangkep cerita lo, tapi Adira yang gue kenal nggak kaya gitu, bahkan Adira tuh buat deket sama cowok aja susah, karena trauma masa lalunya.”

Mendengar ucapan Danu, Alana tidak kehabisan akal untuk menjelek-jelekan Adira dihadapan Danu.

“Iya kak trauma itu ada karena sejak kejadian kak Adira embat cowoknya sepupu ku, sejak saat itu kak Adira mulai dijauhin sama temen-temennya bahkan satu sekolah nggak ada yang mau temenan sama dia kak.”

Mendengar perkataan Alana yang seperti itu mengenai Adira, ini merupakan suatu hal yang membuat Danu kaget, pasalnya Adira yang ia kenal tidak mungkin melakukan hal yang seperti itu, namun setelah mendengarkan penjelasannya cukup masuk akal, karena selama ini Adira memang tidak memiliki teman, hanya dua orang teman perempuannya di kampus dan tentu saja Deryan yang merupakan tetangganya.

“Terus apa lagi yang mau lo sampein soal Adira?”

“Aku baru tahu segitu sih kak, aku belum diceritain hal yang lebih detail dari itu sama sepupu ku. Seperti yang aku bilang, aku nggak ada maksud apa-apa cuma pengin kak Danu nggak jadi korban dari kak Adira aja sih kak.”

“Oke thank you atas infonya. Terus sekarang lo mau ke toko buku kan?”

“Iya kak. Sekarang nih kak?”

“Sekarang aja, gue juga nggak bisa lama-lama soalnya.”

“Oh iya-iya kalau gitu sekarang aja.”

Selanjutnya Alana dan Danu keluar dari coffee shop tersebut dan berjalan menuju toko buku yang ada di Mall tersebut.

Tak ada yang spesial dengan kegiatannya bersama Alana, tetapi semua perkataan Alana cukup membuatnya kepikiran.

— srnras

— Starbucks

Pukul 15.45 Danuarta sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di starbucks dengan satu cup coffee favoritenya, ia sengaja datang lebih awal karena baginya ia perlu mempersiapkan diri sebelum bertemu sang kakak yaitu Kinara. Hubungan Danu dan Kinar sangat renggang, mereka sudah lama tidak bertemu, mungkin terakhir kali saat Danu duduk di kelas 4 sekolah dasar sedangkan Kinar duduk di kelas 6 sekolah dasar, iya mereka kakak beradik kandung dengan perbedaan usia 2 tahun.

Sambil menunggu Kinar, Danu terdiam mematung di tempatnya, pikirannya berkecamuk, setelah sekian lama pada akhirnya sang kakak menghubunginya, selama ini ia tidak pernah tahu bagaimana kehidupan kakaknya, begitu pun sebaliknya. Danu bertanya-tanya dalam benaknya, ada apa? Kenapa Kinar mengajaknya bertemu? Apa yang ingin dia bicarakan? Tahu dari mana nomor telepon Danu? Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalanya.

Pukul 16.00, terdengar suara langkah kaki menuju tempat Danu berada, diiringi dengan suara wanita yang berbicara padanya.

“Udah lama ya Danu, ternyata kamu udah tumbuh menjadi laki-laki dewasa,” ucap wanita tersebut yang tentunya itu adalah Kinara, kakak perempuan Danuarta.

“Duduk kak, sama siapa?” Tanya Danu berbasa-basi.

“Aku sendiri kok. Jadi sekarang kamu kuliah di Maranatha ya? Jurusan apa?”

“Iyaa kak, jurusan teknik informatika.”

“Semester berapa?” Tanya Kinar sambil meminum kopi yang dipesannya.

“Semester enam. Kak Kinar ada apa hubungin aku?”

“Sebentar lagi ya lulusnya,” ucap kinar sambil menaruh cup kopinya. “Kamu ini nggak sabaran ya kelihatannya. Aku kesini untuk memperbaiki hubungan kita berdua,” lanjut Kinar

Danu terdiam mendengar perkataan kakaknya, setelah sekian lama mereka berpisah dengan tiba-tiba kakaknya itu menghubunginya dan berkata ingin memperbaiki hubungan dengannya.

Sorry, aku sampai bingung harus merespon seperti apa. Kita udah lama nggak ketemu, belasan tahun tepatnya, dan sekarang kakak ada dihadapan aku terus bilang mau memperbaiki hubungan kita. Selama ini kakak kemana aja? Banyak banget yang pengin Danu tanyain kak.”

“Oke aku tau ini terlalu tiba-tiba, mungkin kamu juga kaget aku tiba-tiba hubungin kamu dan ajak kamu ketemu seperti ini. Kamu boleh tanya apa pun yang ingin kamu tahu.”

“Apa kabar? Selama ini tinggal di mana?”

“Baik, banget. Selama SMP sampai SMA aku tinggal di nenek, kuliah aku nggak di Indonesia, aku kuliah di New York.”

“Tahu nomor hp aku dari mana?”

“Tentunya dari papa.”

“Apa yang mau diomongin?”

“Danu, aku tahu kamu punya luka yang besar setelah kepergian mama, bukan cuma kamu, aku juga, aku ingin minta maaf karena nggak ada disamping kamu saat kamu butuh dukungan, saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengambil sebuah keputusan, aku cuma bisa ikut apa kata papa, ada hal yang perlu kamu tau, aku nggak pernah benci kamu atas kejadian masa lalu, aku tau mama pergi bukan karena kesalahan kamu. Maaf baru sekarang aku bisa hubungin kamu, dulu waktu aku tinggal di rumah nenek, aku bener-bener nggak bisa ngehubungin kamu, nenek gak bolehin aku hubungin kamu, gak bolehin aku ketemu kamu. Semakin aku tumbuh, aku juga semakin kepikiran kamu, gimana kabar adikku, dia tidur dengan nyaman nggak ya, dia makan dengan baik nggak ya, apa papa udah berubah atau belum, banyaaakk banget yang aku pikirin, aku sengaja kuliah di luar, biar aku bebas dari nenek. Aku nggak mau hidupku diatur sama nenek lagi, selama kuliah di sana aku juga jalanin part time, aku pikir aku harus punya uang sendiri tanpa campur tangan nenek atau siapa pun dari pihak keluarga papa. Dan finally, keuanganku sekarang udah stabil, walaupun aku belum sesukses papa, alasan kepulangan aku ke sini pun untuk kamu.”

Danu terdiam mendengar semua penjelasan Kinar, ia tidak menyangka bahwa kakaknya itu juga tidak hidup dengan bebas, Danu selalu berpikir mungkin kakaknya membenci dirinya atas kepergian mamanya, mungkin kakaknya tidak peduli kepadanya. Ternyata selama ini Kinar pun hidup bagai dalam penjara, Danu memahami itu, karena keluarga papanya sangat tidak suka kepadanya, anggapan keluarga papanya Danu hanyalah anak pembawa sial, gara-gara Danu, mamanya meregang nyawa, papanya sempat stress karena ditinggalkan oleh sang istri.

Sorry, aku nggak pernah tahu kalau hidup kakak juga sulit, aku selalu berpikir kalau kakak benci aku, hidup kakak pasti enak dan nggak pernah mikirin aku sama sekali. Selamat untuk kesuksesan kak Kinar sekarang.”

“Wajar kalau kamu berpikir seperti itu. Oh iya, kakak juga ajak kamu ketemu sebenernya pengin ajak kamu tinggal bareng.”

“Di sini?”

“Nggak di Bandung, tapi di Jakarta.”

“Nggak bisa kak, aku kan kuliah.”

“Okay nggak apa-apa kamu kuliah di Bandung, setelah selesai kamu pindah ke Jakarta ya? Untuk sekarang lebih baik kamu tinggal di appartement aja, gimana?”

“Terus rumah yang di Bandung?”

“Aku yakin kalau kamu nggak ada di rumah itu, papa bakalan pulang. Aku pengin lepasin kamu dari papa. Selama ini pasti berat banget kan kamu tinggal di sana sendirian?”

“Aku baik-baik aja kak, ada bibi kok.”

“Oke kalau menurut kamu itu baik untuk kamu, tapi mulai sekarang kalau ada keperluan apa-apa jangan pakai uang papa, pakai uang aku aja. Aku nggak mau kalau kamu sampai dimanfaatin sama papa nanti.”

“Bisa diatur.”

“Aku seneng banget kamu mau terima aku, adik ku satu-satunya udah dewasa banget ternyata kamu.”

Pertemuan Danu dan Kinar berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan seputar kehidupan mereka masing-masing.

—srnras

— Starbucks

Pukul 15.45 Danuarta sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di starbucks dengan satu cup coffee favoritenya, ia sengaja datang lebih awal karena baginya ia perlu mempersiapkan diri sebelum bertemu sang kakak yaitu Kinara. Hubungan Danu dan Kinar sangat renggang, mereka sudah lama tidak bertemu, mungkin terakhir kali saat Danu duduk di kelas 4 sekolah dasar sedangkan Kinar duduk di kelas 6 sekolah dasar, iya mereka kakak beradik kandung dengan perbedaan usia 2 tahun.

Sambil menunggu Kinar, Danu terdiam mematung di tempatnya, pikirannya berkecamuk, setelah sekian lama pada akhirnya sang kakak menghubunginya, selama ini ia tidak pernah tahu bagaimana kehidupan kakaknya, begitu pun sebaliknya. Danu bertanya-tanya dalam benaknya, ada apa? Kenapa Kinar mengajaknya bertemu? Apa yang ingin dia bicarakan? Tahu dari mana nomor telepon Danu? Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalanya.

Pukul 16.00, terdengar suara langkah kaki menuju tempat Danu berada, diiringi dengan suara wanita yang berbicara padanya.

“Udah lama ya Danu, ternyata kamu udah tumbuh menjadi laki-laki dewasa,” ucap wanita tersebut yang tentunya itu adalah Kinara, kakak perempuan Danuarta.

“Duduk kak, sama siapa?” Tanya Danu berbasa-basi.

“Aku sendiri kok. Jadi sekarang kamu kuliah di Maranatha ya? Jurusan apa?”

“Iyaa kak, jurusan teknik informatika.”

“Semester berapa?” Tanya Kinar sambil meminum kopi yang dipesannya.

“Semester enam. Kak Kinar ada apa hubungin aku?”

“Sebentar lagi ya lulusnya,” ucap kinar sambil menaruh cup kopinya. “Kamu ini nggak sabaran ya kelihatannya. Aku kesini untuk memperbaiki hubungan kita berdua,” lanjut Kinar

Danu terdiam mendengar perkataan kakaknya, setelah sekian lama mereka berpisah dengan tiba-tiba kakaknya itu menghubunginya dan berkata ingin memperbaiki hubungan dengannya.

Sorry, aku sampai bingung harus merespon seperti apa. Kita udah lama nggak ketemu, belasan tahun tepatnya, dan sekarang kakak ada dihadapan aku terus bilang mau memperbaiki hubungan kita. Selama ini kakak kemana aja? Banyak banget yang pengin Danu tanyain kak.”

“Oke aku tau ini terlalu tiba-tiba, mungkin kamu juga kaget aku tiba-tiba hubungin kamu dan ajak kamu ketemu seperti ini. Kamu boleh tanya apa pun yang ingin kamu tahu.”

“Apa kabar? Selama ini tinggal di mana?”

“Baik, banget. Selama SMP sampai SMA aku tinggal di nenek, kuliah aku nggak di Indonesia, aku kuliah di New York.”

“Tahu nomor hp aku dari mana?”

“Tentunya dari papa.”

“Apa yang mau diomongin?”

“Danu, aku tahu kamu punya luka yang besar setelah kepergian mama, bukan cuma kamu, aku juga, aku ingin minta maaf karena nggak ada disamping kamu saat kamu butuh dukungan, saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengambil sebuah keputusan, aku cuma bisa ikut apa kata papa, ada hal yang perlu kamu tau, aku nggak pernah benci kamu atas kejadian masa lalu, aku tau mama pergi bukan karena kesalahan kamu. Maaf baru sekarang aku bisa hubungin kamu, dulu waktu aku tinggal di rumah nenek, aku bener-bener nggak bisa ngehubungin kamu, nenek gak bolehin aku hubungin kamu, gak bolehin aku ketemu kamu. Semakin aku tumbuh, aku juga semakin kepikiran kamu, gimana kabar adikku, dia tidur dengan nyaman nggak ya, dia makan dengan baik nggak ya, apa papa udah berubah atau belum, banyaaakk banget yang aku pikirin, aku sengaja kuliah di luar, biar aku bebas dari nenek. Aku nggak mau hidupku diatur sama nenek lagi, selama kuliah di sana aku juga jalanin part time, aku pikir aku harus punya uang sendiri tanpa campur tangan nenek atau siapa pun dari pihak keluarga papa. Dan finally, keuanganku sekarang udah stabil, walaupun aku belum sesukses papa, alasan kepulangan aku ke sini pun untuk kamu.”

Danu terdiam mendengar semua penjelasan Kinar, ia tidak menyangka bahwa kakaknya itu juga tidak hidup dengan bebas, Danu selalu berpikir mungkin kakaknya membenci dirinya atas kepergian mamanya, mungkin kakaknya tidak peduli kepadanya. Ternyata selama ini Kinar pun hidup bagai dalam penjara, Danu memahami itu, karena keluarga papanya sangat tidak suka kepadanya, anggapan keluarga papanya Danu hanyalah anak pembawa sial, gara-gara Danu, mamanya meregang nyawa, papanya sempat stress karena ditinggalkan oleh sang istri.

Sorry, aku nggak pernah tahu kalau hidup kakak juga sulit, aku selalu berpikir kalau kakak benci aku, hidup kakak pasti enak dan nggak pernah mikirin aku sama sekali. Selamat untuk kesuksesan kak Kinar sekarang.”

“Wajar kalau kamu berpikir seperti itu. Oh iya, kakak juga ajak kamu ketemu sebenernya pengin ajak kamu tinggal bareng.”

“Di sini?”

“Nggak di Bandung, tapi di Jakarta.”

“Nggak bisa kak, aku kan kuliah.”

“Okay nggak apa-apa kamu kuliah di Bandung, setelah selesai kamu pindah ke Jakarta ya? Untuk sekarang lebih baik kamu tinggal di appartement aja, gimana?”

“Terus rumah yang di Bandung?”

“Aku yakin kalau kamu nggak ada di rumah itu, papa bakalan pulang. Aku pengin lepasin kamu dari papa. Selama ini pasti berat banget kan kamu tinggal di sana sendirian?”

“Aku baik-baik aja kak, ada bibi kok.”

“Oke kalau menurut kamu itu baik untuk kamu, tapi mulai sekarang kalau ada keperluan apa-apa jangan pakai uang papa, pakai uang aku aja. Aku nggak mau kalau kamu sampai dimanfaatin sama papa nanti.”

“Bisa diatur.”

“Aku seneng banget kamu mau terima aku, adik ku satu-satunya udah dewasa banget ternyata kamu.”

Pertemuan Danu dan Kinar berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan seputar kehidupan mereka masing-masing.

—srnras

Suara bel rumah Adira berbunyi, tapi Adira terlalu malas untuk membukakan pintu rumahnya dan berakhir mengirim pesan kepada Deryan karena ia sudah menduga bahwa yang menekan bel rumahnya adalah Deryan.

Lo ngapain pencet bel segala? Udah masuk aja gak gue kunci kok, gue di kamar.

Setelah mengirim pesan kepada Deryan tidak lama suara pintu rumah Adira terbuka, langkah seseorang yang menapaki tangga rumahnya pun terdengar dengan jelas diiringi dengan suara Deryan.

“Heh Bora! Keluar lu, bisa-bisanya rumah kagak dikunci, belom aja ada maling masuk lu ya,” teriak Deryan sambil membuka pintu kamar Adira.

“Nama gue Adira bukan Bora, seenaknya aja lo ganti-ganti nama gue! Gak gue kunci karena adek gue belum balik anjir, makanya gue biarin aja,” balas Adira sambil merebahkan badannya di kasur queen sizenya.

“Hadeh tuh bocah keluyuran kemana jam segini belum balik?”

“Gak tau deh, balapan kali.”

“Jean masih aja balapan?”

“Masih anjir, dia gak ada takut-takutnya ketauan sama abang gue.”

“Ya lagian abang lu juga kagak di sini oneng. Oh iya katanya lu mau ceritaaaa, buruan lah.” “Pindah dulu yuk ke balkon, biar enak aja gitu,” ucap Adira yang beranjak dari kasurnya dan berjalan menuju ke balkon kamarnya, balkon kamar Adira sebenarnya berhadapan langsung dengan balkon kamar Deryan.

“Nggak ada bedanya kaya lu cerita lewat telepon ke gua dan kita masing-masing diem di balkon anjir.” Deryan mulai mengikuti Adira menuju balkon.

Adira menepuk-nepuk bean bag yang ada disampingnya sambil berkata “Nggak apa-apa lah, udah sini duduk buruan.”

Adira dan Deryan terhanyut dalam lamunan diri masing-masing sambil menatap ke arah langit, mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing, sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua hanya untuk sekedar bercerita mengenai kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini.

“Der gue suka sama Danuarta,” ucap Adira memecah keheningan di antara mereka berdua.

“Gua tau, gua bisa lihat itu.”

“Der saat ini gue berharap kalau Danu itu yang terakhir.” Helaan nafas Adira terdengar cukup kencang. “Tapi gue nggak tau apa-apa soal Danu, terlalu sulit. Gue nggak tau cerita Danu sama sekali, salah satu alasan gue ketemuan sama Jefrian adalah karena gue pengin tau, Danuarta itu seperti apa. Selama ini, bagi gue dia terlalu abu-abu,” lanjutnya.

“Terus apa yang udah lu dapet?”

“Nggak ada. Nggak, bukan gak ada tapi nggak banyak. Gue cuma tau kalau ternyata nyokapnya Danu udah meninggal, papanya terlalu sibuk dan ternyata di punya kakak cewek, sayangnya kakak ceweknya putus kontak sama Danu. Selain itu gue nggak tau apa-apa, atau gue nggak berhak tau ya Der?”

“Ra kalau menurut gua bukan lu nggak berhak tau, tapi mungkin Danu belum siap untuk cerita sama lu, mungkin itu hal yang sulit bagi Danu. Setiap orang butuh waktu yang berbeda untuk bisa terbuka soal masalah-masalah pribadinya, even itu dengan orang yang dia sayang sekalipun. Bahkan biasanya cowok sulit untuk berterus terang soal masalah hidupnya sama orang yang dia sayang, karena kita sebagai cowok gak mau kalau cewek kita tau kelemahan kita.”

“Berat juga ya Der jatuh cinta diusia segini, gue ngerasanya makin banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan, mungkin Danu juga gitu kali ya Der? Menurut lo, gue bisa bertahan berapa lama?”

“Kurang lebih gitu sih, banyak banget hal yang perlu dipertimbangkan dan dipikirkan sebelum memulai sesuatu yang baru, apa lagi kalau ada sesuatu di masa lalu. Gua nggak tau lu bisa bertahan atau nggak, tapi kalau dirasa lu udah nggak sanggup, jangan paksain, kalau mau berhenti ya berhenti, kalau lu butuhnya istirahat, go ahead, lakukan apa pun yang ingin lu lakukan.”

“Udah lama banget ya gue nggak pernah ngobrol kaya gini sama lo, gue ngerasa lebih lega dari sebelumnya. Oh iya gue juga seneng karena ternyata Jefrian sebaik itu anaknya, dia mau kasih info tentang Danu walau pun nggak banyak sih. Mungkin Danu emang setertutup itu kali ya makanya dia nggak pernah cerita ke orang lain.”

“Awas aja lu jadi demen sama si Jefri lagi.”

“Nggak lah, oh iya kalau lo gimana Der? Akhir-akhir ini kan kita jarang ketemu, padahal rumah sebrangan doang, tapi lo jarang pulang, kemana aja sih?”

“Gua nggak gimana-gimana sih, nggak ada sesuatu yang spesial juga. Gua sering nginep di kosan Juan atau Mahen, tugas gua lagi banyak-banyaknya. Lu tau sendiri arsi kaya gimana Ra.”

“Lo nggak kepikiran punya cewek apa? Mau sampai kapan jomblo melulu?”

“Kadang gua juga ngerasa butuh, tapi gua takut. Gua takut gak bisa bagi waktu buat cewek gua nanti, arsi di semester-semester akhir tuh luar biasa banget, meskipun pasti punya kesibukan masing-masing tapi kayanya nggak dulu deh, gua juga nyaman sendiri sih.”

“Sedih banget, tapi kalau lo enjoy ya oke lah.”

“Btw ini gua tidur di mana ya anjir?”

“Hehehe di kamar Jean sana atau mau di kamar tamu juga gak apa-apa sih.”

“Di sini kagak bisa apa?”

“HEEEH! GUE GEBUK LO YA. TEMENIN JEAN AJA SANA.”

“Ya udah sih santai, gua numpang ngegame deh ya di kamar Jean. Tuh bocah belum balik juga lagi udah jam segini.”

“Lo telepon dong, biasanya kalau lo ke rumah dia mau kok pulang cepet.”

Okay deh, gua ke kamar Jean ya. Good night Ra.”

“Yaaaa, nite too.”

—srnras

Suara bel rumah Adira berbunyi, tapi Adira terlalu malas untuk membukakan pintu rumahnya dan berakhir mengirim pesan kepada Deryan karena ia sudah menduga bahwa yang menekan bel rumahnya adalah Deryan.

Lo ngapain pencet bel segala? Udah masuk aja gak gue kunci kok, gue di kamar.

Setelah mengirim pesan kepada Deryan tidak lama suara pintu rumah Adira terbuka, langkah seseorang yang menapaki tangga rumahnya pun terdengar dengan jelas diiringi dengan suara Deryan.

“Heh Bora! Keluar lu, bisa-bisanya rumah kagak dikunci, belom aja ada maling masuk lu ya,” teriak Deryan sambil membuka pintu kamar Adira.

“Nama gue Adira bukan Bora, seenaknya aja lo ganti-ganti nama gue! Gak gue kunci karena adek gue belum balik anjir, makanya gue biarin aja,” balas Adira sambil merebahkan badannya di kasur queen sizenya.

“Hadeh tuh bocah keluyuran kemana jam segini belum balik?”

“Gak tau deh, balapan kali.”

“Jean masih aja balapan?”

“Masih anjir, dia gak ada takut-takutnya ketauan sama abang gue.”

“Ya lagian abang lu juga kagak di sini oneng. Oh iya katanya lu mau ceritaaaa, buruan lah.” “Pindah dulu yuk ke balkon, biar enak aja gitu,” ucap Adira yang beranjak dari kasurnya dan berjalan menuju ke balkon kamarnya, balkon kamar Adira sebenarnya berhadapan langsung dengan balkon kamar Deryan.

“Nggak ada bedanya kaya lu cerita lewat telepon ke gua dan kita masing-masing diem di balkon anjir.” Deryan mulai mengikuti Adira menuju balkon.

Adira menepuk-nepuk bean bag yang ada disampingnya sambil berkata “Nggak apa-apa lah, udah sini duduk buruan.”

Adira dan Deryan terhanyut dalam lamunan diri masing-masing sambil menatap ke arah langit, mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing, sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua hanya untuk sekedar bercerita mengenai kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini.

“Der gue suka sama Danuarta,” ucap Adira memecah keheningan di antara mereka berdua.

“Gua tau, gua bisa lihat itu.”

“Der saat ini gue berharap kalau Danu itu yang terakhir.” Helaan nafas Adira terdengar cukup kencang. “Tapi gue nggak tau apa-apa soal Danu, terlalu sulit. Gue nggak tau cerita Danu sama sekali, salah satu alasan gue ketemuan sama Jefrian adalah karena gue pengin tau, Danuarta itu seperti apa. Selama ini, bagi gue dia terlalu abu-abu,” lanjutnya.

“Terus apa yang udah lu dapet?”

“Nggak ada. Nggak, bukan gak ada tapi nggak banyak. Gue cuma tau kalau ternyata nyokapnya Danu udah meninggal, papanya terlalu sibuk dan ternyata di punya kakak cewek, sayangnya kakak ceweknya putus kontak sama Danu. Selain itu gue nggak tau apa-apa, atau gue nggak berhak tau ya Der?”

“Ra kalau menurut gua bukan lu nggak berhak tau, tapi mungkin Danu belum siap untuk cerita sama lu, mungkin itu hal yang sulit bagi Danu. Setiap orang butuh waktu yang berbeda untuk bisa terbuka soal masalah-masalah pribadinya, even itu dengan orang yang dia sayang sekalipun. Bahkan biasanya cowok sulit untuk berterus terang soal masalah hidupnya sama orang yang dia sayang, karena kita sebagai cowok gak mau kalau cewek kita tau kelemahan kita.”

“Berat juga ya Der jatuh cinta diusia segini, gue ngerasanya makin banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan, mungkin Danu juga gitu kali ya Der? Menurut lo, gue bisa bertahan berapa lama?”

“Kurang lebih gitu sih, banyak banget hal yang perlu dipertimbangkan dan dipikirkan sebelum memulai sesuatu yang baru, apa lagi kalau ada sesuatu di masa lalu. Gua nggak tau lu bisa bertahan atau nggak, tapi kalau dirasa lu udah nggak sanggup, jangan paksain, kalau mau berhenti ya berhenti, kalau lu butuhnya istirahat, go ahead, lakukan apa pun yang ingin lu lakukan.”

“Udah lama banget ya gue nggak pernah ngobrol kaya gini sama lo, gue ngerasa lebih lega dari sebelumnya. Oh iya gue juga seneng karena ternyata Jefrian sebaik itu anaknya, dia mau kasih info tentang Danu walau pun nggak banyak sih. Mungkin Danu emang setertutup itu kali ya makanya dia nggak pernah cerita ke orang lain.”

“Awas aja lu jadi demen sama si Jefri lagi.”

“Nggak lah, oh iya kalau lo gimana Der? Akhir-akhir ini kan kita jarang ketemu, padahal rumah sebrangan doang, tapi lo jarang pulang, kemana aja sih?”

“Gua nggak gimana-gimana sih, nggak ada sesuatu yang spesial juga. Gua sering nginep di kosan Juan atau Mahen, tugas gua lagi banyak-banyaknya. Lu tau sendiri arsi kaya gimana Ra.”

“Lo nggak kepikiran punya cewek apa? Mau sampai kapan jomblo melulu?”

“Kadang gua juga ngerasa butuh, tapi gua takut. Gua takut gak bisa bagi waktu buat cewek gua nanti, arsi di semester-semester akhir tuh luar biasa banget, meskipun pasti punya kesibukan masing-masing tapi kayanya nggak dulu deh, gua juga nyaman sendiri sih.”

“Sedih banget, tapi kalau lo enjoy ya oke lah.”

“Btw ini gua tidur di mana ya anjir?”

“Hehehe di kamar Jean sana atau mau di kamar tamu juga gak apa-apa sih.”

“Di sini kagak bisa apa?”

“HEEEH! GUE GEBUK LO YA. TEMENIN JEAN AJA SANA.”

“Ya udah sih santai, gua numpang ngegame deh ya di kamar Jean. Tuh bocah belum balik juga lagi udah jam segini.”

“Lo telepon dong, biasanya kalau lo ke rumah dia mau kok pulang cepet.”

Okay deh, gua ke kamar Jean ya. Good night Ra.”

“Yaaaa, nite too.”

Bersama Jefrian

Pukul 18.45 Jefrian sudah sampai di depan rumah Adira, rumah yang besar dengan desain yang mewah itu tertutup gerbang tinggi berwarna hitam, satu hal yang membuat Jefrian merasa heran, kenapa rumah sebesar ini sangat sepi? Iya, rumah Adira terlihat seperti rumah kosong yang tidak ditempati oleh pemiliknya.

Jefrian memainkan ponselnya, mengetik pesan yang akan ditujukan pada Adira sang pemilik rumah, namun selagi mengetik pesan diponselnya, perhatiannya teralihkan oleh seseorang yang berada di depan mobilnya, orang itu berada di atas motor sport yang besar “Adira udah punya cowok? Apa gimana dah? Kok ada cowok depan rumahnya? Apa gua yang salah rumah ya?” Gumam Jefrian.

Tidak lama ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Adira, setelah mendapatkan balasan dari Adira, hatinya mulai tenang karena Adira bilang laki-laki yang ada di depan rumahnya adalah sang adik.

Tok... tokk.. tokkk...

“Eh masuk aja Ra, nggak gua kunci kok.”

Adira pun langsung membuka pintu mobil Jefrian dan menduduki kursi penumpang.

“Gua kira yang tadi pacar lu.”

“Pacar dari mana masih cilik gitu, itu adek gue Jef.”

“Danu tau lu punya adek?”

“Kayanya sih nggak, soalnya tiap Danu anter gue balik, adek gue nggak ada di rumah.”

“Oalah, oh iya rumah lu sepi banget ya Ra.”

“Iya hahaha, di rumah cuma gue sama adek gue doang Jef, makanya sepi.”

Sorry, orang tua lo masih ada kan?”

“Santai, mereka ada kok. Cuma mereka nggak menetap di Indonesia, mereka di Paris untuk urusan bisnis. Selain punya adek sebenernya gue juga punya abang, dia juga nggak menetap di Indonesia, soalnya lagi lanjutin pendidikan di LA.”

“Wow, keluarga yang luar biasa.”

Jefrian berpikir Adira hanya perempuan biasa, sama seperti teman-temannya yang lain, ternyata Adira itu berbeda, tetapi penampilan Adira sangat sederhana, mungkin itu yang membuat dirinya terlihat seperti perempuan biasa.

“Oh iya ini kita jadinya kemana Jef?”

“Agak jauh dari daerah rumah lu, santai kan?”

“Santai kok, kemana emang?”

“Kita ke La Breeze ya Ra, lu cewek pasti suka deh café kaya ginian.”

“Hafal banget kayanya kalau soal kesukaan cewek hahaha.”

“Apaan sih Ra. Oh iya lu gimana sama Danu?”

“Hm... Gitu aja sih, nggak ada yang berubah dan nggak ada yang spesial.”

“Emang nggak ada kemajuan dari si Danu?”

“Nanti deh gue ceritain detailnya, btw ini sepi banget deh, boleh puter lagu nggak sih?”

“Bolehlah! Nyalain aja, tapi itu isinya playlist favorite gua, kalau lu nggak suka boleh ganti kok.”

“Biar gue dengerin dulu yaa.”

Adira menyalakan tape yang ada di mobil Jefrian, betapa kagetnya Adira karena playlist Jefrian itu tidak jauh berbeda dengan playlist yang Adira suka.

“Gue kaget loh, cowok kaya lo playlistnya yang adem kaya gini.”

“Loh emang kenapa? Nggak ada yang larang kan?”

“Nggak sih, gue kaget aja. Gue kira playlist lo tuh playlist anak senja gitu hahaha.”

“Gua sebenernya apa aja sih, cuma yang gua suka banget tuh CAS (Cigarettes After Sex), ada yang lain juga, ya seperti yang lu liat.”

“Nah ini playlist lo kebanyakan CAS, percaya gak kalau playlist favorite gue juga isinya kebanyakan CAS?”

“Serius lu? Gua kira selera musiknya Adira tuh yang happy, terus cewek banget gitu, secara lu kan anaknya kalem dan keliatannya ceria.”

“Hadeh, lo liat deh ini,” ucap Adira sambil menunjukkan playlist di aplikasi musik kesayangannya.

“Anjir iya dong lu suka CAS juga, kaget gua wkwkwk. Seru nih bisa ngobrol-ngobrol sama orang yang selera musiknya sama.”

“Gue juga kaget, sekaligus seneng karena temen-temen gue nggak ada yang suka sama CAS, katanya lagunya bikin ngantuk.”

“Iya sih lagunya CAS tuh cocok jadi lullaby juga, tapi lu beneran suka? Kan ada tuh cewek-cewek yang suka-sukaan sama CAS biar dikata kekinian dan selera musiknya oke.”

“Beneran, gue udah lama banget suka CAS Jef.”

“Keren sih mantap, lanjutkan Ra.”

Perjalanan yang panjang itu dipenuhi dengan obrolan yang nggak ada matinya, karena Adira merasa ia nyambung berbicara dengan Jefrian, Adira tidak akan selues itu untuk mengobrol panjang lebar dengan seseorang jika orang tersebut tidak satu frekuensi dengan dirinya.


At La Breeze Café

“Lu cari tempatnya dulu sana Ra duluan, gua mau nyari barang dulu di mobil.”

“Okay, nanti gue chat yaa Jef tempatnya sebelah mana.”

“Sip.”

Akhirnya Adira memasuki café lebih dulu dan mencari tempat yang nyaman untuk berbincang.

Jef yang deket kolam yaa.” Isi pesan Adira pada Jefrian yang memberitahu tempat duduk yang ia pilih.

Tidak lama Jefrian datang menghampiri Adira ditemani dengan waiters yang mengantarkan menu.

“Mau pesen apa Ra? Lu udah makan belum?”

“Kebetulan gue belum makan, gue mau sirloin meltique sama strawberry kiwi juice dong Jef.”

“Itu aja gak ada yang lain?”

“Nggak, itu aja.”

“Okay.”

Jefrian memanggil waiters yang sebelumnya mengantarkan menu ke meja mereka dan memesankan makanan dirinya juga Adira.

“Sooooo, gimana nih hubungan lu sama Danu?”

“Ya ampun beneran langsung ngomongin Danu hahaha.”

“Ya apa lagi coba kan lu juga mau tanya-tanya soal si Danu ke gua.”

“Iya juga sih. Hubungan gue sama Danu ya biasa aja sih, temenan aja gitu.”

“Mana ada temenan, teman tapi mesra kali.” Ledek Jefrian pada Adira.

“Apaan sih lo, ya gitu deh intinya gue sama Danu tuh nggak ada yang spesial. Gue tuh selalu penasaran sama Danu tapi dia tuh nggak pernah mau bilang ke gue.”

“Coba apa yang bikin lo penasaran?”

“Dia... Baik-baik aja nggak sih Jef? Maksud gue, apakah di masa lalu dia punya suatu masalah yang nyakitin dirinya atau gimana gitu?”

“Adira gua udah pernah bilang kalau Danu itu anaknya tertutup bahkan sama gua yang udah lama temenan sama dia sekalipun. Selama gua kenal sama Danu, dia nggak pernah cerita hal-hal pribadinya, kecuali soal keluarganya itu pun cuma dikit.”

“Boleh gue tau Jef?”

“Menurut gua boleh, karena temen-temen gua yang lain juga tau soal ini. Danu itu, tinggal sendiri, bokapnya sibuk urusin bisnis, gua juga nggak tau bokapnya tinggal dimana, Danu sebenernya punya kakak cewek, gua tau itu dari foto yang dipajang dirumahnya, tapi kakaknya nggak tinggal bareng Danu, gua juga nggak tau kakaknya dimana, Danu bilang juga dia udah lama nggak ketemu kakaknya. Dia tinggal sendiri di rumahnya, urusan rumah biasanya ada bi Asih yang suka datang untuk beres-beres itu pun nggak lama, cuma dari pagi sampai sore atau dari siang sampai sore aja, selain itu paling ada satpam yang jaga rumahnya.”

“Gue nggak nyangka kalau Danu bener-bener sendirian, apa dia nggak kesepian ya Jef?”

“Menurut gua, Danu selalu ngerasa kesepian meskipun dia nggak pernah bilang ke gua atau ke temen-temen yang lain. Tapi ya dia terlalu fokus sama dirinya dan kesibukannya, kadang ia juga ngerasa nggak sadar kalau dia emang kesepian.”

“Gue tuh selalu bingung sama Danu, karena dia beberapa kali bilang ke gue kalau dia sayang sama gue, tapi dia juga bilang “sabar ya Ra, gue butuh waktu.” Ketika gue tanya kenapa dan maksudnya apa, dia nggak pernah kasih tau gue alasannya apa.”

“Gua berani sumpah dah, Danu tuh nggak pernah cerita sama sekali soal lu ke gua, ke anak-anak yang lain juga nggak.”

“Gitu yaaa, rumit juga yaa Jef. Gue kira semua akan lancar sebagaimana mestinya hehehe.”

“Ra, sorry nih ya.. Lu, punya masa lalu yang nggak enak ya?”

“Hm? Kok lo tiba-tiba nanya gitu?”

“Nggak tau juga sih, cuma feeling gua tuh lu juga sebenernya lagi berusaha keluar dari masa lalu lu, yang buat lu kaya sekarang ini.”

“Sumpah Jef lo nyeremin banget, kaya cenayang.”

“Wkwkwkwk keren yaa gua?”

“Apaan dah wkwkwk. Udah yuk makan dulu lah nanti keburu dingin lagi.”

Setelah menghabiskan makanannya, Jefrian dan Adira berbincang sebentar, hanya membahas mengenai perkuliahan saja, tidak ada yang spesial.


Dalam perjalanan pulang tiba-tiba Adira berkata “Sejauh ini, baru lo orang yang nanya kenapa rumah gue sepi dan kemana orang tua gue. Karena sejujurnya temen-temen cewek gue juga nggak pernah ada yang tau soal keluarga gue.”

Perhatian Jefrian teralihkan saat mendengar perkataan Adira, ia menoleh ke samping kirinya, dilihatnya Adira sedang menatap kosong jalanan yang ada dihadapannya.

“Emang selama ini pertemanan lo seperti apa Ra? Terus kalau Danu gimana?”

“Nggak tau deh, meskipun gue berteman sama mereka dan terlihat seperti teman dekat, nyatanya nggak gitu Jef. Sejak lulus SMA sebenarnya gue nggak pernah percaya dengan pertemanan yang benar-benar tulus dan utuh, kecuali dengan Deryan karena dia teman gue sejak kecil sekaligus tetangga gue. Bahkan Danu pun nggak pernah penasaran soal keluarga gue.”

“Adira lo okay bilang ini ke gue?”

“Eh bentar.. Sejak kapan lo jadi gue-lo ke gue, perasaan tadi gua-lu deh.”

“Adira, padahal lagi serius ini. Gue ngerasa gak enak aja kalau terus-terusan pake gua-lu agak kurang pas aja kalau untuk ngobrol sama cewek kaya lo hahaha.”

“Gitu yaaa. Gue kayanya okay bilang hal itu ke lo, menurut gue, lo itu orang yang cukup cocok untuk gue bagi masalah kelam dalam hidup gue wkwkwk.”

“Kenapa lo bisa berpikir kaya gitu? Padahal kan kita belum lama kenal.”

“Gue tuh bisa ngomongin apa aja, sama orang yang nyambung ngobrol sama gue, orang yang satu frekuensi sama gue dan orang yang tampil apa adanya di depan gue. Gue bisa lihat itu saat gue lihat lo bicara sama temen-temen lo dan saat lo bicara sama gue Jef. Gue tipe orang yang bakalan ngamatin dulu lawan bicara gue, ketika gue merasa nyaman, gue bisa bicara dan bersikap sebagaimana mestinya.”

“Waduh, berat banget nih obrolannya. Nggak nyangka banget sih gue, lo bisa seterbuka ini sama gue, karena yang gue tau ya lo itu anaknya sebelas-dua belas sama Danu.”

“Gue nggak seterbuka itu, masih banyak yang belum lo tau tentang gue Jef.”

“Wkwkkwk iyaa iyaa gue paham. Btw kita udah sampai nih, sorry ya Ra jadi malem banget baliknya, ternyata macet juga selama di jalan tadi.”

No need to sorry Jef, makasih lo udah mau denger cerita gue dan jadi pendengar yang baik.”

“Bukan apa-apa Ra, lo kalau ada yang mau diceritain call gue aja.”

“Okay deh, kalau gitu gue keluar sekarang ya. Lo hati-hati di jalan, kabarin kalau udah sampe. Gue ngeri kalau ada apa-apa di jalan soalnya ini udah larut banget Jef.”

“Iya elah santai Ra, kalau gitu gue balik dulu yaaa.”

Setelah itu mobil Jefrian menghilang dari hadapan Adira.

—srnras

Danu dan Adira sampai disebuah coffee shop.

“Wah nemu aja lo tempat yang bagus Nu, tapi ini tempatnya jauh banget kalau dari rumah gue,” ucap Adira

“Adira, gue ini cowok. Anak cowok kalau mau ngajak cewek jalan pasti cari tempat yang enak untuk ngobrol, otomatis gue juga research dulu tempat mana yang cocok.”

“Ya ampun ada-ada aja anak cowok.”

Mereka berdua berjalan memasuki coffee shop tersebut dan memesan minuman serta makanan yang tersedia di sana.

“Lo ke atas duluan aja Ra, pesenannya biar gue yang bawa. Tempatnya dimana aja, yang penting lo nyaman.”

“Oke.”

Adira pergi meninggalkan Danu dan berjalan menuju lantai atas coffee shop tersebut.

“Wah, keren banget viewnya berasa seluruh Bandung kelihatan dari sini,” batin Adira.

Seperti biasa, Adira pasti memilih meja yang berada dibagian pojok, meskipun mereka berada dibagian outdoor.

“Silahkan di nikmati pesanannya kak,” ucap Danu sambil menaruh nampan berisikan minuman dan makanan yang mereka pesan.

“Apaan sih lo Nu, udah cepet duduk!”

Danu duduk tepat berada dihadapan Adira.

“Kok tumben lo pesan americano sih Nu?”

“Kalau ke tempat baru biasanya gue pesan americano, biar gue tau kopi di sini cocok gak buat gue.”

“Oohhh gitu. Oh iya gimana ospek fakultas lo kemarin?”

“Nggak gimana-gimana sih, ya semuanya berjalan lancar tanpa kendala sih.”

“Syukur deh kalau gitu, pasti banyak maba yang suka sama lo deh hahaha atau jangan-jangan lo lagi cari dedek gemes lagi.”

“Hah apaan dah, nggak kepikiran gue buat gebet maba. Dapetin lo aja gue belum bisa.”

“Hahaha apaan sih lo.”

“Ya bener dong, gue aja belum bisa dapetin lo, masa udah gebet maba aja?”

“Emang kalau udah dapetin gue, lo bakalan ngapain?”

“Gak ngapa-ngapain sih, paling gue keep sampe nanti waktunya berumah tangga,” jawab Danu dengan wajah datarnya.

“Pikiran lo jauh banget Nu, gue aja masih belum tau apa-apa soal lo.”

Mendengar ucapan Adira, Danu langsung terdiam.

Benar, Adira belum tahu apa-apa soal Danu. Danu pun masih belum mau memberitahu Adira soal dirinya, ia bingung. Bagi Danu ini adalah hal pertama ia mendekati perempuan dengan serius, walaupun masih terbayang-bayang soal masa lalunya. Tapi, bagi Danu dia tidak bisa terbuka begitu saja karena luka di masa lalunya, ini hal yang berat bagi Danu. Danu selalu berpikir “apa yang bakalan perempuan itu lakukan jika mengetahui soal masa lalunya.” Terlalu banyak asumsi yang Danu buat mengenai pandangan perempuan yang didekatinya.

“Eh sorry gue malah nyinggung soal itu terus.”

“Gak apa-apa kok Ra, santai aja. Malah seharusnya gue yang minta maaf sama lo, karena gue belum bisa terbuka sama lo soal diri gue.”

“Sebenernya apa yang buat lo kaya gini sih Nu?”

“Gue selalu overthinking, gue takut lo gak bisa terima soal masa lalu gue, gue takut lo ninggalin gue saat udah tau tentang gue. Banyak faktor yang buat gue sulit untuk terbuka dengan orang lain.”

“Berat juga ya Nu, tapi kalau lo nyamannya seperti itu ya udah, gue juga bukan siapa-siapa dan nggak mungkin maksa lo juga.”

“Ra, kalau gue ingin tau tentang lo, boleh?”

“Apa yang ingin lo tau tentang gue?”

“Luka apa yang lo dapat sampai lo nggak membuka hati sama cowok baru?”

“Hm... Bentar yaa, gue nggak mau menjadi cengeng di depan lo, gue harus siapin diri gue untuk jawab pertanyaan lo.”

It's okay, take your time.”

Kesunyian meliputi mereka berdua, Adira sedang memikirkan bagaimana ia harus menjelaskannya ke Danu.

Okay, gue udah siap.”

“Oke, tarik nafas dulu Ra.”

“Yang melatar belakangi gue seperti ini karena masa lalu gue, dulu gue punya pacar, kita berdua ada dalam hubungan yang baik, tapi lama kelamaan banyak masalah yang datang, beberapa kali mantan gue itu ketahuan chatting sama cewek lain dan isinya nggak wajar, cuma gue masih coba untuk sabar karena saat itu yang ada dipikiran gue tuh “gue males kalau ntar putus mesti mulai lagi dari awal dengan orang yang baru” jadi sebisa mungkin gue mempertahankan hubungan kita. Ternyata usaha gue sia-sia, karena di sisa waktu sebelum gue putus sama dia, cuma gue yang berjuang, nggak dengan dia, dia lebih milih berjuang buat cewek lain—

Wait, sorry gue potong. Itu maksudnya cowok lo cheating?”

“Iyaa, dia selingkuh.”

“Oke, lanjut.”

“—dia berjuang untuk cewek lain dan gue tau itu secara langsung saat gue pinjem hpnya, bukan gue suka ngecekin hpnya ya, saat itu gue cuma butuh aplikasi yang ada di hp dia, dan gue liat notif chat dari cewek yang nanyain cowok gue lagi dimana selain itu, cewek itu minta pap (post a picture) jujur gue kaget, awalnya gue nggak mau buka room chat mereka, tapi akhirnya gue buka, ternyata chat sebelumnya udah di delete sama cowok gue. Gue juga langsung tanya ke cowok gue, cewek itu siapa tapi ya biasalah cowok, dia cuma bilang itu temen. Nggak lama dari situ gue milih untuk berhenti, gue nggak sanggup untuk lanjutin hubungan itu. Sejak saat itu gue cukup trauma dengan yang namanya pacaran.”

Okay, jadi karena itu. Gue turut sedih, ternyata itu alasan dibalik sikap lo yang saat ini. Selain itu apa ada lagi faktor yang bikin lo jadi males banget deket sama cowok?”

“Ada, tapi nanti lagi deh ceritanya gue butuh nyali lebih besar lagi hehehe.”

“Aahhh oke-oke.”

Mereka menghabiskan waktu dengan berbagi hal apapun, namun satu yang tidak didapat oleh Adira, kisah masa lalu seorang Danuarta.

—srnras

Selesai kelas, Adira membuka ponselnya dan hendak memberi kabar pada Danu bahwa kelasnya sudah berakhir.

Gue udah selesai, lo di kampus atau di rumah?” Begitu isi pesan yang Adira kirimkan pada Danu.

I'm on my way, berangkat dari rumah. Lo duluan ke sbux aja. Boleh sekalian minta tolong?” Balasan dari Danu.

Setelah membaca pesan dari Danu yang mengatakan bahwa dirinya sedang dalam perjalanan, Adira pun bergegegas meninggalkan gedung fakultasnya dan berjalan menuju starbucks yang lokasinya berada persis disebrang kampusnya.

Hati-hati, seharusnya lo gak main hp selagi nyetir. Boleh, ada apa?” Balasnya pada Danu.

Lagi lampu merah kok, tolong pesenin minuman, seperti biasa.

Okay, makanan?

Boleh, apa aja gue suka. Tolong pilihin ya. Thank you, nanti gue ganti.

Santai, udah sana fokus nyetir.

Tidak ada balasan lebih lanjut dari Danu yang menandakan bahwa ia sedang melanjutkan perjalanan menuju kampus.


Adira sudah memesan minuman serta makanan untuknya dan Danu, seperti biasa ia memilih meja yang letaknya berada dipojok ruangan.

“Gue gak telat kan?” Ucap Danu yang kehadirannya tidak disadari oleh Adira karena sibuk dengan ponselnya.

Adira mengalihkan pandangannya kepada sosok lelaki yang ada dihadapannya.

“Loh kapan datengnya? Kok nggak kedengeran sih?” Tanya Adira.

“Mungkin satu menit yang lalu, lo terlalu fokus sama hp sih. Lagi ngapain emangnya?”

“Hehehe, nggak ngapa-ngapain kok cuma chat sama temen-temen ngomongin soal model.” Jelasnya

“Model? Buat apa tuh?”

“Buat peragaan ditugas akhir nanti, sayangnya gue gak punya banyak kenalan, makanya bingung deh siapa yang bakalan gue pake untuk jadi model pakaian gue nanti.”

“Perlu gue bantu? Seingat gue anak BEM ada yang freelancer jadi model deh.”

“Oh ya? Boleh tuh, tolong bantu gue buat ketemu sama orangnya nanti yaa Nu.”

“Santai aja, nanti gue bantu.”

“Sekarang gue mau recharge energy dulu.”

“Masih aja, emang gimana caranya?”

“Hm kalau cara biasa sih, liat lo dan ngobrol aja udah cukup. Tapi kalau lo izinin lebih, boleh gak gue dapat free hug dari lo?”

Adira terkejut mendengar perkataan Danu, sampai ia hampir menyemburkan minuman yang berada dimulutnya, akhirnya ia malah tersedak.

“Uhuk.. uhukk.. uhukk...”

“Pelan-pelan dong minumnya, sekaget itu ya?” Tanya Danu santai

“Iyalah! Ih lo lagi kenapa sih Nu?”

“Kalau gak bisa juga nggak apa-apa kok gue juga gak maksa, hehehe”

“Ada-ada aja sumpah, hampir aja nyembur tadi.”

“Iyaa maaf-maaf.”

Adira dan Danu benar-benar menghabiskan waktu dua jam untuk berbincang dan menikmati minuman favorite mereka masing-masing, hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.


“Eh gak kerasa udah jam 4 lagi,” ucap Adira sambil melihat jam yang melingkar ditangannya.

“Loh iya juga, ya udah gue langsung ke kampus nih lanjut rapat. Lo langsung pulang kan?”

“Iya langsung pulang kok.”

“Mau ke kampus bareng?”

“Boleh.”

Akhirnya Adira dan Danu keluar dari starbucks dan menuju ke kampus, lebih tepatnya Danu pergi ke sekretariat BEM dan Adira ke parkiran.

“Danu,” panggil Adira

“Kenapa Ra? Ada yang ketinggalan di starbucks?”

“Nggak, gue mau pulang.”

“Iyaa, terus?”

“Sini dulu deh, deketan sini,” ucap Adira sambil menggerak-gerakkan tangannya.

“Kenapa?” Tanya Danu.

Tiba-tiba Adira mendekatkan dirinya pada Danu dan memeluknya lalu berkata “cuma 10 detik, buat recharge. Nggak usah ngomong apa-apa, biar gue aja yang ngomong.”

“Semangat Danuarta Adhitama, gue tau pasti susah jadi lo karena memikul banyak beban dan tanggung jawab, pasti lo sering merasa capek dengan tugas-tugas serta kegiatan lo. Lo bisa istirahat sejenak kalau lo udah merasa capek banget buat ngejalaninnya, tapi setelah itu lo harus balik semangat lagi. Semangat untuk ospek besok, gue yakin lo pasti bisa berikan yang terbaik buat para maba dan fakultas lo, jangan skip makan ya Nu nanti lo malah jadi kurusan, gue nggak suka hehehe, kalau lo sibuk nikmatin aja, gak usah berusaha curi waktu buat hubungin gue, fokus aja sama tugas dan kegiatan lo, gue paham kok pasti jadi ketua BEM itu sibuk, gue juga gak akan ganggu lo, text me or call me kalau lo udah bener-bener senggang,” ucap Adira.

Setelah itu Adira langsung melepaskan pelukannya pada Danu dan bergegas memasuki mobilnya.

Danu masih mematung diposisinya, ia terlalu terkejut dengan apa yang Adira lakukan.

“Gue pulang dulu, semangat rapatnya. Jangan bengong melulu, bye Danu,” ucap Adira dari dalam mobil.

Mobil Adira melaju melewati Danu yang masih mematung diposisinya.

“Adira, lo bener-bener ya. Abis bikin jantung gue merosot malah pergi gitu aja. Gimana gue bisa konsen pas rapat nanti?” Batin Danu.

—srnras

Hi, sorry udah bikin nunggu,” ucap Danu yang baru saja tiba di cafetaria kampus.

“Nggak apa-apa kok, cuma sebentar ini.”

“Oke deh, langsung aja yuk Ra.”

“Ayo-ayo.”

Mereka berdua pun pergi meninggalkan eurika (cafetaria) dan bergegas menuju parkiran mobil.


Safety first, jangan lupa seatbeltnya Ra.”

“Aman kok. Oh iya ini jadinya kita mau kemana?”

“Enaknya kemana yaa? Lo ada rekomen tempat yang adem dan nggak penuh di jam makan siang gitu gak?”

“Hm... Dimana yaa, ini kalau lokasinya agak jauh dari kampus nggak apa-apa kan Nu?”

“Nggak apa-apa lah, santai aja lagian ini bukan weekend jadi Bandung nggak akan semacet itu.”

“Bener juga, lo rapat jam 4 kan ya? Gue ada tempat yang pengen banget di datengin sih cuma belum kesampean aja.”

“Iya jam 4. Boleh tuh dimana tempatnya?”

“Ke kisah manis aja, gimana?”

“Boleh, tapi gue nggak tau dimana. Lo tau tempatnya?”

“Nggak hahaha, ada maps kok Nu. Kalau gue liat di instagramnya sih di jalan Sunda.”

“Oke kalau gitu kita kesana ya.”

“Siaaap.”


Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit akhirnya mereka sampai di kisah manis, kisah manis ini merupakan sebuah coffee shop yang ada di kota Bandung.

Coffee shop ternyata,” ucap Danu

“Iya hehehe, nggak apa-apa kan? Lo suka kopi kan?”

“Suka Adira, lo tau itu waktu kita ketemu di starbucks depan kampus.”

“Oh iya, ya udah ayo masuk.”

Mereka masuk ke dalam coffee shop tersebut, akan disuguhkan bagian outdoor yang sangat nyaman untuk ditempati, kalau untuk anak zaman sekarang sih coffee shop kisah manis ini merupakan coffee shop yang instagramable, ketika masuk ke bagian indoor, ternyata tempatnya sangat luas dan terbagi menjadi beberapa bagian, Danu dan Adira memilih meja yang ada dibagian pojok, kalau kata Danu sih “biar lebih leluasa aja ngobrolnya”.


“So, apa nih yang pengen lo obrolin?” tanya Adira

“Ya ampun Ra, to the point banget sih hahaha. Sebenernya sih nggak penting-penting amat, gue cuma pengen kenal lo lebih jauh aja.”

Suddenly? Kok bisa sih Nu?”

“Karena lo menarik dimata gue, ada banyak hal yang pengen gue tau tentang diri lo.”

Wait, kita baru banget kenal loh. Dan tiba-tiba banget lo bilang gini ke gue, jujur gue sendiri cukup kaget dengernya.”

“Oke, sorry kalau gue terlalu tiba-tiba dan to the point juga, soalnya lo tadi kan nanyanya to the point, ya gue pikir lo gak masalah, gue udah jawab dengan jujur maksud gue ajak lo ketemu itu apa.”

“Oke. Pertama, kenapa lo pengen tau tentang gue?”

“Gue penasaran, karena temen-temen gue bilang kalau lo tuh anaknya susah dideketin sama cowok, jarang banget berinteraksi sama cowok kecuali temen lo yang namanya Deryan itu. Gue ngerasa, sebenernya lo nggak sesusah itu deh untuk berinteraksi sama cowok.”

Well.... Buat gue pribadi sebenarnya nggak cuma berinteraksi sama cowok aja yang susah, sama cewek juga kok. Gue punya alasan juga kenapa gue seperti itu.”

“Gue denger juga katanya lo anaknya cuek banget, apa lagi sama cewek tapi yang gue liat sekarang lo nggak seperti itu,” lanjut Adira

“Karena mereka nggak menarik dimata gue.”

Adira terdiam mendengar jawaban dari Danu, jika menurut Danu selama ini nggak ada cewek yang menarik dimatanya, lalu apakah Adira termasuk cewek yang menarik dimata Danu?

“Kok diem?” tanya Danu, sambil meminum coffee yang sedari tadi ada dihadapannya.

“Gue kaget aja dengernya, terus kalau selama ini cewek-cewek nggak menarik dimata lo, berarti gue juga dong?”

“Lo ini pura-pura nggak ngerti apa gimana sih Ra? Lucu banget deh. Ya tentu aja lo menarik dimata gue, makanya gue bisa kaya sekarang ini.”

Bagai petir disiang bolong, Adira semakin kaget mendengar jawaban Danu.

“Gue kaget banget deh, dia tiba-tiba begini. Apa emang aslinya dia kaya gini ya?” Batin Adira.

“Gue nggak ngerti deh, lo emang anaknya sejujur dan se-blak-blakan itu ya?”

“Gue nggak suka basa-basi kalau soal hati sih.”

“Tapi gue bingung harus jawab apa kalau gitu.”

“Gue tanya deh, boleh nggak gue naksir lo?”

“HAH?”

“Biasa aja sih, kok sampe kaget dan melotot gitu? Hahahaha.”

“Yaaa... gue kaget?? Kok tiba-tiba lo bilang gitu?”

“Ya gue juga cuma nanya sih.”

“Urusan lo naksir gue, itu adalah keputusan dan hak lo, gue nggak bisa ngelarang. Tapi untuk saat ini, gue belum bisa balas apa yang lo rasain. Untuk saat ini gue belum kepikiran untuk naksir cowok mana pun.”

“Jawaban yang bagus, gue juga nggak mau dilarang buat suka sama lo. Ya udah kalau gitu, boleh gue tanya lagi gak?”

“Apa?”

“Kalau gue mau berusaha buat bikin lo suka sama gue, boleh gak?”

Mendengar pertanyaan Danu, perasaan Adira semakin tidak karuan. Danuarta ini nggak bisa dia prediksi, entah itu sikapnya, sifatnya, bahkan jalan pemikirannya.

“Gue nggak ngelarang lo buat berusaha. Usaha aja dulu, gue juga mau tau lo bisa atau nggak merubah hati dan pikiran gue.”

“Bagus, gue suka yang begini. Maaf kalau kesannya gue to the point banget, tapi jujur aja gue juga nggak mau kalah start dari orang lain di luar sana yang suka sama lo.”

“Nggak apa-apa, lakuin aja apa yang pengen lo lakuin, selama itu nggak merugikan orang lain.”

Setelah pembicaraan yang menyangkut soal hati, mereka melanjutkan obrolan lain, entah itu tentang perkuliahan, pertemanan mereka atau pun hal-hal random lainnya.

“Nggak kerasa udah jam setengah 3 nih. Pulang yuk Nu, lo juga kan harus rapat jam 4 nanti.”

“Iya ayo.”

“Eh bentar, ini gue dianter pulang nggak sih? Kalau nggak gue minta jemput Deryan aja.”

“Ya dianter dong, masa gue biarin lo pulang sendirian. Kaya nggak ada tanggung jawabnya aja nih jadi laki.”

“Ya kali aja, lo juga kan harus rapat. Kalau anter gue dulu jadinya bolak-balik.”

“Nggak apa-apa santai aja, ini usaha pertama gue buat merubah pemikiran lo.”

“Oke kalau gitu.”

—srnras

“Hi, sorry udah bikin nunggu,” ucap Danu yang baru saja tiba di cafetaria kampus.

“Nggak apa-apa kok, cuma sebentar ini.”

“Oke deh, langsung aja yuk Ra.”

“Ayo-ayo.”

Mereka berdua pun pergi meninggalkan eurika (cafetaria) dan bergegas menuju parkiran mobil.


Safety first, jangan lupa seatbeltnya Ra.”

“Aman kok. Oh iya ini jadinya kita mau kemana?”

“Enaknya kemana yaa? Lo ada rekomen tempat yang adem dan nggak penuh di jam makan siang gitu gak?”

“Hm... Dimana yaa, ini kalau lokasinya agak jauh dari kampus nggak apa-apa kan Nu?”

“Nggak apa-apa lah, santai aja lagian ini bukan weekend jadi Bandung nggak akan semacet itu.”

“Bener juga, lo rapat jam 4 kan ya? Gue ada tempat yang pengen banget di datengin sih cuma belum kesampean aja.”

“Iya jam 4. Boleh tuh dimana tempatnya?”

“Ke kisah manis aja, gimana?”

“Boleh, tapi gue nggak tau dimana. Lo tau tempatnya?”

“Nggak hahaha, ada maps kok Nu. Kalau gue liat di instagramnya sih di jalan Sunda.”

“Oke kalau gitu kita kesana ya.”

“Siaaap.”


Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit akhirnya mereka sampai di kisah manis, kisah manis ini merupakan sebuah coffee shop yang ada di kota Bandung.

Coffee shop ternyata,” ucap Danu

“Iya hehehe, nggak apa-apa kan? Lo suka kopi kan?”

“Suka Adira, lo tau itu waktu kita ketemu di starbucks depan kampus.”

“Oh iya, ya udah ayo masuk.”

Mereka masuk ke dalam coffee shop tersebut, akan disuguhkan bagian outdoor yang sangat nyaman untuk ditempati, kalau untuk anak zaman sekarang sih coffee shop kisah manis ini merupakan coffee shop yang instagramable, ketika masuk ke bagian indoor, ternyata tempatnya sangat luas dan terbagi menjadi beberapa bagian, Danu dan Adira memilih meja yang ada dibagian pojok, kalau kata Danu sih “biar lebih leluasa aja ngobrolnya”.


“So, apa nih yang pengen lo obrolin?” tanya Adira

“Ya ampun Ra, to the point banget sih hahaha. Sebenernya sih nggak penting-penting amat, gue cuma pengen kenal lo lebih jauh aja.”

Suddenly? Kok bisa sih Nu?”

“Karena lo menarik dimata gue, ada banyak hal yang pengen gue tau tentang diri lo.”

Wait, kita baru banget kenal loh. Dan tiba-tiba banget lo bilang gini ke gue, jujur gue sendiri cukup kaget dengernya.”

“Oke, sorry kalau gue terlalu tiba-tiba dan to the point juga, soalnya lo tadi kan nanyanya to the point, ya gue pikir lo gak masalah, gue udah jawab dengan jujur maksud gue ajak lo ketemu itu apa.”

“Oke. Pertama, kenapa lo pengen tau tentang gue?”

“Gue penasaran, karena temen-temen gue bilang kalau lo tuh anaknya susah dideketin sama cowok, jarang banget berinteraksi sama cowok kecuali temen lo yang namanya Deryan itu. Gue ngerasa, sebenernya lo nggak sesusah itu deh untuk berinteraksi sama cowok.”

Well.... Buat gue pribadi sebenarnya nggak cuma berinteraksi sama cowok aja yang susah, sama cewek juga kok. Gue punya alasan juga kenapa gue seperti itu.”

“Gue denger juga katanya lo anaknya cuek banget, apa lagi sama cewek tapi yang gue liat sekarang lo nggak seperti itu,” lanjut Adira

“Karena mereka nggak menarik dimata gue.”

Adira terdiam mendengar jawaban dari Danu, jika menurut Danu selama ini nggak ada cewek yang menarik dimatanya, lalu apakah Adira termasuk cewek yang menarik dimata Danu?

“Kok diem?” tanya Danu, sambil meminum coffee yang sedari tadi ada dihadapannya.

“Gue kaget aja dengernya, terus kalau selama ini cewek-cewek nggak menarik dimata lo, berarti gue juga dong?”

“Lo ini pura-pura nggak ngerti apa gimana sih Ra? Lucu banget deh. Ya tentu aja lo menarik dimata gue, makanya gue bisa kaya sekarang ini.”

Bagai petir disiang bolong, Adira semakin kaget mendengar jawaban Danu.

“Gue kaget banget deh, dia tiba-tiba begini. Apa emang aslinya dia kaya gini ya?” Batin Adira.

“Gue nggak ngerti deh, lo emang anaknya sejujur dan se-blak-blakan itu ya?”

“Gue nggak suka basa-basi kalau soal hati sih.”

“Tapi gue bingung harus jawab apa kalau gitu.”

“Gue tanya deh, boleh nggak gue naksir lo?”

“HAH?”

“Biasa aja sih, kok sampe kaget dan melotot gitu? Hahahaha.”

“Yaaa... gue kaget?? Kok tiba-tiba lo bilang gitu?”

“Ya gue juga cuma nanya sih.”

“Urusan lo naksir gue, itu adalah keputusan dan hak lo, gue nggak bisa ngelarang. Tapi untuk saat ini, gue belum bisa balas apa yang lo rasain. Untuk saat ini gue belum kepikiran untuk naksir cowok mana pun.”

“Jawaban yang bagus, gue juga nggak mau dilarang buat suka sama lo. Ya udah kalau gitu, boleh gue tanya lagi gak?”

“Apa?”

“Kalau gue mau berusaha buat bikin lo suka sama gue, boleh gak?”

Mendengar pertanyaan Danu, perasaan Adira semakin tidak karuan. Danuarta ini nggak bisa dia prediksi, entah itu sikapnya, sifatnya, bahkan jalan pemikirannya.

“Gue nggak ngelarang lo buat berusaha. Usaha aja dulu, gue juga mau tau lo bisa atau nggak merubah hati dan pikiran gue.”

“Bagus, gue suka yang begini. Maaf kalau kesannya gue to the point banget, tapi jujur aja gue juga nggak mau kalah start dari orang lain di luar sana yang suka sama lo.”

“Nggak apa-apa, lakuin aja apa yang pengen lo lakuin, selama itu nggak merugikan orang lain.”

Setelah pembicaraan yang menyangkut soal hati, mereka melanjutkan obrolan lain, entah itu tentang perkuliahan, pertemanan mereka atau pun hal-hal random lainnya.

“Nggak kerasa udah jam setengah 3 nih. Pulang yuk Nu, lo juga kan harus rapat jam 4 nanti.”

“Iya ayo.”

“Eh bentar, ini gue dianter pulang nggak sih? Kalau nggak gue minta jemput Deryan aja.”

“Ya dianter dong, masa gue biarin lo pulang sendirian. Kaya nggak ada tanggung jawabnya aja nih jadi laki.”

“Ya kali aja, lo juga kan harus rapat. Kalau anter gue dulu jadinya bolak-balik.”

“Nggak apa-apa santai aja, ini usaha pertama gue buat merubah pemikiran lo.”

“Oke kalau gitu.”

—srnras