Kinara Adhitama Wardhana
— Starbucks
Pukul 15.45 Danuarta sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di starbucks dengan satu cup coffee favoritenya, ia sengaja datang lebih awal karena baginya ia perlu mempersiapkan diri sebelum bertemu sang kakak yaitu Kinara. Hubungan Danu dan Kinar sangat renggang, mereka sudah lama tidak bertemu, mungkin terakhir kali saat Danu duduk di kelas 4 sekolah dasar sedangkan Kinar duduk di kelas 6 sekolah dasar, iya mereka kakak beradik kandung dengan perbedaan usia 2 tahun.
Sambil menunggu Kinar, Danu terdiam mematung di tempatnya, pikirannya berkecamuk, setelah sekian lama pada akhirnya sang kakak menghubunginya, selama ini ia tidak pernah tahu bagaimana kehidupan kakaknya, begitu pun sebaliknya. Danu bertanya-tanya dalam benaknya, ada apa? Kenapa Kinar mengajaknya bertemu? Apa yang ingin dia bicarakan? Tahu dari mana nomor telepon Danu? Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalanya.
Pukul 16.00, terdengar suara langkah kaki menuju tempat Danu berada, diiringi dengan suara wanita yang berbicara padanya.
“Udah lama ya Danu, ternyata kamu udah tumbuh menjadi laki-laki dewasa,” ucap wanita tersebut yang tentunya itu adalah Kinara, kakak perempuan Danuarta.
“Duduk kak, sama siapa?” Tanya Danu berbasa-basi.
“Aku sendiri kok. Jadi sekarang kamu kuliah di Maranatha ya? Jurusan apa?”
“Iyaa kak, jurusan teknik informatika.”
“Semester berapa?” Tanya Kinar sambil meminum kopi yang dipesannya.
“Semester enam. Kak Kinar ada apa hubungin aku?”
“Sebentar lagi ya lulusnya,” ucap kinar sambil menaruh cup kopinya. “Kamu ini nggak sabaran ya kelihatannya. Aku kesini untuk memperbaiki hubungan kita berdua,” lanjut Kinar
Danu terdiam mendengar perkataan kakaknya, setelah sekian lama mereka berpisah dengan tiba-tiba kakaknya itu menghubunginya dan berkata ingin memperbaiki hubungan dengannya.
“Sorry, aku sampai bingung harus merespon seperti apa. Kita udah lama nggak ketemu, belasan tahun tepatnya, dan sekarang kakak ada dihadapan aku terus bilang mau memperbaiki hubungan kita. Selama ini kakak kemana aja? Banyak banget yang pengin Danu tanyain kak.”
“Oke aku tau ini terlalu tiba-tiba, mungkin kamu juga kaget aku tiba-tiba hubungin kamu dan ajak kamu ketemu seperti ini. Kamu boleh tanya apa pun yang ingin kamu tahu.”
“Apa kabar? Selama ini tinggal di mana?”
“Baik, banget. Selama SMP sampai SMA aku tinggal di nenek, kuliah aku nggak di Indonesia, aku kuliah di New York.”
“Tahu nomor hp aku dari mana?”
“Tentunya dari papa.”
“Apa yang mau diomongin?”
“Danu, aku tahu kamu punya luka yang besar setelah kepergian mama, bukan cuma kamu, aku juga, aku ingin minta maaf karena nggak ada disamping kamu saat kamu butuh dukungan, saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengambil sebuah keputusan, aku cuma bisa ikut apa kata papa, ada hal yang perlu kamu tau, aku nggak pernah benci kamu atas kejadian masa lalu, aku tau mama pergi bukan karena kesalahan kamu. Maaf baru sekarang aku bisa hubungin kamu, dulu waktu aku tinggal di rumah nenek, aku bener-bener nggak bisa ngehubungin kamu, nenek gak bolehin aku hubungin kamu, gak bolehin aku ketemu kamu. Semakin aku tumbuh, aku juga semakin kepikiran kamu, gimana kabar adikku, dia tidur dengan nyaman nggak ya, dia makan dengan baik nggak ya, apa papa udah berubah atau belum, banyaaakk banget yang aku pikirin, aku sengaja kuliah di luar, biar aku bebas dari nenek. Aku nggak mau hidupku diatur sama nenek lagi, selama kuliah di sana aku juga jalanin part time, aku pikir aku harus punya uang sendiri tanpa campur tangan nenek atau siapa pun dari pihak keluarga papa. Dan finally, keuanganku sekarang udah stabil, walaupun aku belum sesukses papa, alasan kepulangan aku ke sini pun untuk kamu.”
Danu terdiam mendengar semua penjelasan Kinar, ia tidak menyangka bahwa kakaknya itu juga tidak hidup dengan bebas, Danu selalu berpikir mungkin kakaknya membenci dirinya atas kepergian mamanya, mungkin kakaknya tidak peduli kepadanya. Ternyata selama ini Kinar pun hidup bagai dalam penjara, Danu memahami itu, karena keluarga papanya sangat tidak suka kepadanya, anggapan keluarga papanya Danu hanyalah anak pembawa sial, gara-gara Danu, mamanya meregang nyawa, papanya sempat stress karena ditinggalkan oleh sang istri.
“Sorry, aku nggak pernah tahu kalau hidup kakak juga sulit, aku selalu berpikir kalau kakak benci aku, hidup kakak pasti enak dan nggak pernah mikirin aku sama sekali. Selamat untuk kesuksesan kak Kinar sekarang.”
“Wajar kalau kamu berpikir seperti itu. Oh iya, kakak juga ajak kamu ketemu sebenernya pengin ajak kamu tinggal bareng.”
“Di sini?”
“Nggak di Bandung, tapi di Jakarta.”
“Nggak bisa kak, aku kan kuliah.”
“Okay nggak apa-apa kamu kuliah di Bandung, setelah selesai kamu pindah ke Jakarta ya? Untuk sekarang lebih baik kamu tinggal di appartement aja, gimana?”
“Terus rumah yang di Bandung?”
“Aku yakin kalau kamu nggak ada di rumah itu, papa bakalan pulang. Aku pengin lepasin kamu dari papa. Selama ini pasti berat banget kan kamu tinggal di sana sendirian?”
“Aku baik-baik aja kak, ada bibi kok.”
“Oke kalau menurut kamu itu baik untuk kamu, tapi mulai sekarang kalau ada keperluan apa-apa jangan pakai uang papa, pakai uang aku aja. Aku nggak mau kalau kamu sampai dimanfaatin sama papa nanti.”
“Bisa diatur.”
“Aku seneng banget kamu mau terima aku, adik ku satu-satunya udah dewasa banget ternyata kamu.”
Pertemuan Danu dan Kinar berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan seputar kehidupan mereka masing-masing.
—srnras